BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Kejang
bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada sebagian besar
kasus, kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah. Dulu digunakan
obat anti kejang sebagai tindakan pencegahan pada anak-anak yang sering
mengalami kejang demam. Tetapi hal ini sekarang sudah jarang dilakukan kepada
anak-anak yang cenderung mengalami kejang demam, saat mereka menderita demam,
bisa diberikan diazepam (baik yang melalui mulut maupun melalui rektal). Untuk
mengatasi demam bisa diberikan asetaminofen atau ibuprofen. Aspirin sebaiknya
tidak digunakan untuk mengobati demam pada anak-anak karena resiko terjadinya
sindrom reye. Kejang merupakan hal paling dicemaskan oleh orang tua meski tidak
membahayakan dan pada umumnya tidak berdampak buruk pada tumbuh dan
berkembangnya anak nantinya. (Mansjoer,Arif,2000)
Kejang
demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak yang biasanya terjadi antara
umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah tebukti
adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu (suhu rektal lebih dari 38oC)
yang disebabkan oleh sutu proses ekstranium (diluar rongga kepala). (Febrile
Seizures,1980)
Kejang
merupakan mal fungsi pada system listrik otak. Kejang merupakan disfungsi
neurologic yang paling sering terlihat pada anak-anak dan dapat terjadi dengan
berbagai keadaan yang melibatkan SSP (Sistem Saraf Pusat). Manifestasi kejang di tentukan oleh lokasi
asal gangguan dan dapat meliputi keadaan tidak sadar atau perubahan kesadaran.
Misalnya gerakan infolunter dan perubahan dalam persepsi dan juga perubahan
postur tubuh. Akibatnya terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel otak
dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion K&Na melalui membran inti,
sehingga terjadi lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik yang cukup
besar dapat meluas ke seluruh sel/membran sel di dekatnya dengan bantuan
neurotransmiter, sehingga terjadi kejang. Kejang disebabkan oleh pelepasan
hantaran listrik yang abnormal di otak. Gejala-gejala yang timbul dapat
bermacam-macam tergantung pada bagian otak yang terpengaruh, tetapi umumnya kejang
berkaitan dengan suatu sensai “aneh”, kekakuan otot yang tidak terkendali dan
hilangnya kesadaran. (Mansjoer,2000)
Kejang dapat terjadi
akibat adanya kelainan medis. Rendahnya kadar gula darah, infeksi, cedera
kepala, keracunan, atau overdosis obat-obatan dapat menybabkan kejang dan juga
terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonates, anak dalam perawatan
khusus, dan kadar natrum rendah. Setelah kejang demam pertama. Resiko rekurensi
meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapatkan kejang setelah demam
timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan
riwayat keluarga epilepsy. (Mansjoer,2000)
Kejang demam terjadi dalam waktu singkat, umumnya pada
rentang waktu dibawah 15 menit. Diatas rentang waktu 15 menit, serangan
tersebut perlu diwaspadai, karena tergolong serangan kompleks yang bisa terjadi
lebih dari 1 kali dalam kurun waktu 24 jam. Kejang terjadi bersamaan dengan
kenaikan suhu badan (demam) yang tinggi dan cepat hingga mencapai suhu luar
tubuh 38oC atau lebih. Wujud kejang dapat berupa (bola) mata ke atas disertai
kekakuan atau kelemahan. Atau, terjadi gerakan sentakan berulang tanpa
didahului kekakuan pada anggota gerak. Anak tidak responsif untuk bebrpa waktu,
napas akan terganggu dan kulit akan tampak lebih gelap. Untuk kasus kejang
demam kompleks, biasanya penderita memiliki kelainan neurologis dan atau
memiliki riwayat kejang bahkan epilepsi dalam keluarganya penderita biasanya akan
tidur pulas atau nyenyak setelah mengalami kejang demam. (Mansjoer,2000)
Di Sulawesi
Selatan, pada anak yang berumur 0 bulan sampai 5 tahun terdapat 50% yang
terkena kejang demam. Hasil yang diperoleh didapat demam dengan suhu >37,8oC
mempunyai resiko kejadian kejang demam sebesar 42,3 kali, umur <24 bulan
mempunyai resiko kejadian kejang demam sebesar 4,32 kali, riwayat keluarga
mempunyai resiko kejadian kejang demam sebesar 7,04 kali, Trauma persalinan
mempunyai resiko kejadian kejang demam 3,88, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
mempunyi resiko kejadian kejang demam sebesar 0,13 kali. Kesimpulan didapatkan
bahwa faktor demam, umur, riwayat keluarga, trauma persalinan, BBLR, mempunyai
resiko kejadian kejang demam. (Rahma, 2008)
Secepatnya menurunkan panas badan adalah hal utama
menghindari kejang. Longgarkan pakaian yang ketat atau berbahan dasar dengan
sifat memerangkap panas. Gunakan kompres air hangat dan perbanyak minum air
putih untuk merangsang turunnya panas badan penderita, hindari penggunaan air dingin
dan kompres alkohol. Obat penurunan panas dapat puka digunakan bila dibutuhkan.
Hindari penggunaan kopi sebagai anti kejang, gunakan obat pencegah kejang yang
diberikan lewat bubur jika penderita tidak dapat mengkonsumsi obat. Bila
terjadi kejang, jangan menahan gerakan-gerakan anak seperti memegani tangan
atau kakinya. Segera miringkan anak apabila kejang telah berhenti. (Fatimah,2004)
Keadaan ini tidak edentik dengan epilepsi, dimana
serangan kejang terjadi berulang-ulang tanpa demam. Ada sekitar 15% kasus
epilepsi yang didahului dengan gejala kejang demam. Namun, kurang dari 5% anak
kejang demam berkembang menjadi epilepsi. Tetap monitor suhu tubuh penderita
selama 16 hingga 24 jam sejak awal serangan. Karena kemungkinan serangan ulang
masih mengintainya. Yang paling penting tetap tenang dan tidak panik saat
menghadapi gejala dan serangan kejang demam yang terjadi pada pendeita. Kejang demam
yang yang banyak dialami anak balita yang memiliki sifat bawaan mudah
mendapatkan gangguan kesehatan tersebut. Tidak seperti epilepsi, kejang demam
pada umumnya demam tinggi. (Fatimah,2004)
Namun bila serangan itu berlanjut lebih dari lima
menit, segeralah mencari bantuan dokter. Orang tua disarankan tetap waspada
terhadap kemungkinan serangan kejang demam. Kalau serangan datang, orang tua
hendaknya tetap tenang. Menulis dan mengatakan untuk tetap tenang memang tidak
semudah melakukannya saat kita berhadapan dengan penderita, apalagi bila
penderita adalah buah hati tercinta. Kejang umumnya berhenti
sendiri begitu kejang berhenti, anak tidak akan memberi reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpda kelainan saraf. Ketika seorang perawat yang dihadapkan dengan
kilien yang berbeda budaya, maka perawat profesional tetap memberikan asuhan
keperawatan yang tinggi, demi terpenuhinya kebutuhan dasar klien tersebut.
(Fatimah,2004)
1.2. Tinjauan Teori
Tuntutan
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada abad ke-21, termasuk
tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin besar.
Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar Negara (imigrasi)
dimungkinkan, menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutan asuhan
keperawatan. Keperawatan transkultural merupakan suatu arah utama dalam
keperawatan yang berfokus pada study komparatif dan analisis tentang budaya dan
sub budaya yang berbeda di dunia yang menghargai perilaku caring, layanan
keperawatan, niai-nilai, keyakinan tentang sehat sakit, serta pola-pola tingkah
laku yang bertujuan mengembangkan body of knowladge yang ilmiah dan humanistik
guna memberi tempat praktik keperawatan pada budaya tertentu dan budaya universal
(Marriner-Tomey,1994)
Teori keperawatan transkultural ini menekankan
pentingnya peran keperawatan dalam memahami budaya klien. Keperawatan sebagai
profesi memiliki landasan body of knowledge yang kuat, yang dapat dikembangkan
serta dapat diaplikasikan dalam praktek keperawatan. Perkembangan teori
keperawatan terbagi menjadi 4 level perkembangan yaitu metha theory, grand
theory, midle range theory dan practice theory. Salah satu teori yang
diungkapkan pada Midle Range Theory adalahTranscultural Nursing Theory. Teori
ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan dikembangkan dalam konteks
keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh
pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam
masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan
keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada
klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya
cultural shock. (Leinenger,1984)
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu
kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya
dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan,
ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang
sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada beberapa
daerah atau Negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyerinya
dengan berteriak atau menangis. Tetapi karena perawat memiliki kebiasaan bila
merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila berteriak atau menangis akan
dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati klien tersebut menangis atau
berteriak, maka perawat akan memintanya untuk bersuara pelan-pelan, atau
memintanya berdoa atau malah memarahi pasien karena dianggap telah mengganggu
pasien lainnya. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat
pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan. (Leinenger,1984)
Pemahaman yang benar pada diri perawat mengenai budaya
klien, baik individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat, dapat mencegah
terjadinya culture shock maupun culture imposition.Cultural shock terjadi saat
pihak luar (perawat) mencoba mempelajari atau beradaptasi secara efektif dengan
kelompok budaya tertentu (klien) sedangkan culture imposition adalah
kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara diam-diam mauoun
terang-terangan memaksakan nilai-nilai budaya, keyakinan, dan
kebiasaan/perilaku yang dimilikinya pda individu, keluarga, atau kelompok dari
budaya lain karena mereka meyakini bahwa budayanya lebih tinggi dari pada
budaya kelompok lain.
Adapun
Konsep dalam Transcultural Nursing sebagai berikut:
1.Budaya adalah norma atau
aturan tindakan dari anggota kelompok yangdipelajari, dan dibagi serta memberi
petunjuk dalam berfikir, bertindak danmengambil keputusan.
2.Nilai budaya adalah
keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu tindakan
yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu danmelandasi tindakan dan
keputusan.
3.Perbedaan budaya dalam
asuhan keperawatan merupakan bentuk yangoptimal dari pemberian asuhan
keperawatan, mengacu pada kemungkinanvariasi pendekatan keperawatan yang
dibutuhkan untuk memberikan asuhanbudaya yang menghargai nilai budaya individu,
kepercayaan dan tindakantermasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu
yang datang danindividu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
4.Etnosentris adalah
persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggapbahwa budayanya adalah yang
terbaik diantara budaya-budaya yang dimilikioleh orang lain.
5.Etnis berkaitan dengan
manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yangdigolongkan menurut
ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
6.Ras adalah perbedaan
macam-macam manusia didasarkan padamendiskreditkan asal muasal manusia.
7.Etnografi adalah ilmu yang
mempelajari budaya. Pendekatan metodologipada penelitian etnografi memungkinkan
perawat untuk mengembangkankesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap
individu, menjelaskandasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan
orang-orang, dan salingmemberikan timbal balik diantara keduanya.
8.Care adalah fenomena yang
berhubungan dengan bimbingan, bantuan,dukungan perilaku pada individu,
keluarga, kelompok dengan adanya kejadianuntuk memenuhi kebutuhan baik aktual
maupun potensial untuk meningkatkankondisi dan kualitas kehidupan manusia.
9.Caring adalah tindakan
langsung yang diarahkan untuk membimbing,mendukung dan mengarahkan individu,
keluarga atau kelompok pada keadaanyang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk
meningkatkan kondisi kehidupanmanusia.
10.Cultural Care berkenaan
dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,kepercayaan dan pola ekspresi
yang digunakan untuk mebimbing, mendukungatau memberi kesempatan individu,
keluarga atau kelompok untukmempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan
bertahan hidup, hidupdalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
11. Culturtal imposition
berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatanuntuk memaksakan kepercayaan,
praktik dan nilai diatas budaya orang lainkarena percaya bahwa ide yang
dimiliki oleh perawat lebih tinggi dari pada kelompok lain.
Teory keperawatan transkultural matahari terbit,
sehinnga di sebut juga sebagai sunrise modelmatahari terbit (sunrise model) ini
melambangkan esensi keperawatan dalam transkultural yang menjelaskan bahwa
sebelum memberikan asuhan keperawatan kepada klien (individu, keluarga,
kelompok, komunitas, lembaga), perawat terlebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan mengenai pandangan dunia (worldview) tentang dimensi dan budaya serta
struktur sosial yang, bersyarat dalam lingkungan yang sempit. Teori leininger
berasal dari ilmu antropologi, tapi konsep ini relevan untuk keperawatan.
Leininger mendefinisikan “Transkultural nursing” sebagai area yang luas dalam
keperawatan yang mana berfokus dalam komparatif studi dan analisis perbedaan
kultur dan subkultur dengan menghargai perilaku caring, nursing care, dan nilai
sehat sakit, kepercayaan dan pola tingkah laku dengan tujuan perkembangan ilmu
dan humanistic body of knowledge untuk kultur yang universal dalam keperawatan.
(Leininger,2002)
Aplikasi teori
dalam transkultural dalam keperawatan diharapkan adanya kesadaran dan apresiasi
terhadap perbeaan kultur. Hal ini berarti perawat yang professional memiliki
pengetahuan dan praktek yang berdasarkan kultur secara konsep petencanaan dan
untuk praktik keperawatn. Tujuan penggunaan keperawatan transkultural adalah
untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta
praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal kultur yang
spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai dan norma spesifik yang dimiliki oleh
kelompok laen. Kultur yang universal adalah nilai-nilai dan norma – norma yang
diyakini dan dilakukan hamper semua kultur seperti budaya minum the dapat membuat
tubuh sehat. (Leininger, 2002)
Leininger
mengembangkan diteorinya dari perbadaan kultur dan universal berdasarkan
kepercayaan bahwa masyarakat dengan perbedaan kultur dapat menjadi sumber
informasi dan menentuan jenis perawatan yang diinginkan dari pemberian
peleyanan yang professional, karena kultur adalah pola kehidupan masyarakat
yang berpengaruh terhadap keputusan dan tindakan. Culture care adalah teori
yang holistic karena meletakan di dalam nya ukuran dari totalitas kehidupan
manusia dan berada selamanya, termasuk social struktur, pandangan dunia, nilai
cultural, konteks lingkungan, ekspresi bahasa dan etnik serta system
professional. Dimensi budaya dan struktur sosial tersebut menurut Leininger di
pengaruhi oleh tujuh faktor, yaitu teknologi, agama dan falsafah hidup, faktor
sosial dan kekerabatan. (Leinenger,2002)
Peran perawatan
pada transcultural nursing teory ini adalah menjebatani antara sistem perawatan
yang dilakukan masyarakat awam dengan sistem perawatan prosfesional melalui
asuhan keperawatan. Eksistensi peran perawat tersebut digambarkan oleh
leininger.oleh karena itu perawat harus mampu membuat keputusan dan rencana
tindakan keperawatan yang akan diberikan kepada masyarakat. Jika di sesuaikan
dengan proses keperawatan, hal tersebut merupakan tahap perencanaan tindakan
keperawatan.
Tindakan
keperawatan yang diberikan kepada klien harus tetap memperhatikan tiga perinsip
asuhan keperawatan, yaitu :
1.Culture care
preservation/maintenance, yaitu prinsip membantu, memfasilitasi, atau memperhatikan
fenomena budaya guna membantu individu menentukan tingkan kesehatan dan gaya
hidup yang diinginkan.
2.Culture care
accommodation/negatiation, yaitu prisip membantu, memfasilitasi, atau
memperhatikan fenomena budaya, yang merefleksikan cara-cara untuk beradaptasi,
atau bernegosiasi atau mempertimbangkan kondisi kesehatan dan gaya hidup
individu atau klien.
3.Culture care
repatterning/restructuring, yaitu : prinsip merekonstruksiatau mengubah desain
untuk membantu memperbaiki kondisi kesehatan dan pola hidup klien kearah lebih
baik.
1.3. Tujuan Umum
1.
Mengetahui
budaya dan nila-nilai yang melekat pada klien
2.
Mengetahui
apa cultural shock yang ditimbulkan klien
3.
Mengetahui
perkembangan klien dari sakit hingga sembuh
1.4. Tujuam Khusus
1.
Mampu
menerapkan model keperawatan in nursing kepada klien
2.
Mampu
memberikan asuhan keperawatan dengan model keperawatan in nursing
3.
Mampu
menenangkan klien yang mengalami cultural shock
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Keperawatan
Transcultural in Nursing
2.1.1. Model Keperawatan Transcultural in
Nursing
Transcultural
nursing adalah suatu area/wilayah keilmuan
budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang focus memandang
perbedaan dan kesamaan antara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit
didasarkan pada nilai budaya manusia,kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini
digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan
budaya kepada manusia. (Leininger, 2002)
Asumsi
mendasar daro teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi dari
keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan.
Tindakan Caring dikatakan sebagi tindakan yang dialkukan dalam memberikan
dukugan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya diberikan kepada
manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai
dikala manusia itu meninggal. Human caring merupakan fenomena yang universal
dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu tempat
dengan tempat lainya.
2.1.2. Paradigma Transcultural
Nursing
Paradigma
keperawtan trankultural adalah cara pandang, persepsi, keyakinan, nilai-nilai,
dan konsep-konsep dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar
belakang budaya terhadap empat konsep sentral,yaitu manusia, keperawatan,
kesehatan, dan lingkungan (Leininger,1984,Andrew & barnim,1995).
Leininger
(1985) mengartikan paradigm keperawatan transcultural sebagai cara pandang,
keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan
yang yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral
keperawatan yaitu: manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan. Andrewand Boyle,
1995)
1.
Manusia
Manusia
adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan
pilihan.Menurut Leininger (1984) manusia memiliki kecenderungan untuk
mempertahankan budanya pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and
Davidhizar, 1995).
2.
Sehat
Kesehatan
adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi kehidupannya,
terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu keyakinan,
nilai,pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan
memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktifitas
sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat sakit yang adaptif (Andrew and
Boyle, 1995).
3.
Lingkungan
Lingkungan
didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi perkembangan,
kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai suatu
totalitas kehidupan dimana klien dengan
budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik,
social dan simbolik .Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan
oleh manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim
seperti rumah didaerah Eskimo yang hamper tertutup rapat karena tidak pernah
ada matahari sepanjang tahun. Lingkungan social adalah keseluruhan struktur
social yang berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok
kedalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan social individu harus
mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan tersebut.
Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan symbol yang menyebabkan
individu atau kelompok merasa bersatu seperti music, seni, riwayat hidup,
bahasa dan atribut yang digunakan.
4.
Keperawatan
Asuhan
keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepaqda klien
sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan
memandirikan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi yang digunakan dalam
asuhan keperawatan adalah perlindungan/mempertahankan budaya,
mengakomodasi/negoisasi budaya dan mengubah / mengubah menganti budaya klien
(Leininger, 1991).
a.
Cara I : Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya
dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan
dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan
yang telah dimiliki klien sehinga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan
status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi.
b.
Cara II : Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi
keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien beradapatasi terhadap
budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Keperawatan membantu klien
agar memiliki dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan
kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau
amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain.
c.
Cara III : Restrukturisasi budaya
Restrukturasi budaya
klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat
berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak
merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntgungkan dan
sesuai dengan keyakinan yang dianut.
2.1.3.
Proses keperawatan Transcultural Nursing
Model
konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan
keperawatan dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budanya
digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model) Pengelolahan asuhan
keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnose keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1.
Pengkajian
Pengkajian adalah
peroses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi maslah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya
klien (Giger anDavidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen
yang ada pada “Sinrise Model” yaitu:
a.
Faktor teknologi (tecnologi factors)
Teknologi
kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran
menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengaji :
persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alas
an mencari bantuan kesehatanm alas an klien memilih pengobatan alternative dan
persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permaslahan kesehatan saat ini.
b.
Factor agama dan falsafah hidup (religious
and philosophical factors)
Agama
adalah suatu symbol yang mengakibatkan pandangan yang amata realitas bagi para
pemeluknya. Agama memeberikan motivasi yang sangat kuat untuk menepatkan
kebenran diatas segalanya, bahkan diatas kehidupanya sendiri. Faktor aga,a yang
harus dikaji oleh parawata adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara
pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama
yang berdampal positif terhadapa kesehatan. Faktor social dan keterikatan
keluarga (kinship and social factors). Perawat pada tahan ini harus mengkaji
factor-faktor : namalengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir,
jenis kelamin,status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan
hubungan klien dengan kepala keluarga.
c.
Nilai-nilai budaya dan gaya hidup
(cultural value and life ways)
Nilai-nilai
budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang
dianggap baik atau buruk.Norma-norma budaya adlah suatu kaidah yang mempunyai
sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada
factor ini adalah: posisi dan jabata yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa
yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit,
persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan
membersihkan diri.
d.
Factor kebijakan dan peraturan yang
berlaku(political dan legal factors)
Kebijakan
dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi
kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995).
Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang
berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu,
cara pembayraan untuk klien yang dirawat.
e.
Faktor ekonomi (economical factors)
Klien
yang dirawat dirumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki
untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh.Faktor ekonomi yang harus dikaji
perawata diantaranya : pekerja klien,sumber biaya pengobatan,tabungan yang
dimiliki oleh keluarga,biaya dari sumber lain misalnya asuransi,penggantian
biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
f.
Factor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalam pengalaman
klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya oleh bukti-bukti ilmiah yang
rasional dan individu tersebutu dapat belajar beradaptasi terhadapa budaya yang
sesuai dengan kondisi kesehatanya. Hal yang perlu dikaji dalam tahap ini adalah
: tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuan untuk belajar
secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak berulang
kembali
2. Diagnosa
keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budanya
yang dapat dicegah,diubah atau
dikurangi melalui intervensi keperawatan ( Giger and Davidhizar,1995). Terdapat
tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatam
transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan
kultur,gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan
ketidak patuhan dalam pengobatanm berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
3. Perencanaan
dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu
proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan.Perencanaan adalah suatu proses
memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang
sesuai dengan latar belakang budaya klien (Gierand Davidhizar,1995). Ada tiga
pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle,1995)
yaitu: mempertahankan budaya yang dimiliki klien tidak bertentangan dengan
kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klienkurang menguntungkan
kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimilki klien bertentangan
dengan kesehatan
a.
Cultural
care preservation/maintenance
1)
Indentifikasi
perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan dan
perawatan bayi
2)
Bersikap
tenang dan tidak berburu-buru saat berinterkasi dengan klien
3)
Mendiskusikan
kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b.
Cultural
careaccomadation/negotiation
1)
Gunakan
bahas yang mudah dipahami oleh klien
2)
Libatkan
keluarga dalam perencanaan perawatan
3)
Apabila
ada konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis.pandangan klien dan standar etik
c.
Cultual
care repartening/reconstruction
1)
Beri
kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksankannya
2)
Tentukan
tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
3)
Gunakan
pihak ketiga bila perlu
4)
Terjemahkan
terminologi gejala pasien kedalam bahasa kesehatan yang dapat dipahami oleh
klien dan orang tua
5)
Berikan
informsi kepada klien tentang sistem pelayanan kesehatan.Perawat dan klien
harus mencoba untuk memahami budaya masing-masing melalui proses akulturasi,
yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan
memperkaya budaya budaya mereka bila perawat tidak memahami budaya klien maka
akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat
dengan klien akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas
keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan,mengurangi budaya klien yang
tidak sesuai dengan kesehatan atau beradapatasi dengan budaya baru yang mungkin
sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki oleh klien. Melalui evaluasi
dapat diketahuhi asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya
klien
2.2. Tinjauan Medis
2.2.1. Pengertian
Kejang
demam adalah bamgkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.Menurut Consensus Staement on
Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak,
biasanya terjadi antara umur tiga bulan dan 5 bulan, berhubungan dengan demam
tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab
tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang
ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.Definisi ini menyingkirkan kejanag
yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefatitis atau
ensefalopati. Kejang pada keadaaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf
pusat. Hampir 3% daripad anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah menderitanya (Millichap,
1968). Wegman (1939) dan Millichap(1959) dari percobaan binatang berkesimpulan
bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang.Terjadinya
bangkitan kejang demam bergantung kepad umur,tinggi serta cepatnya suhu
meningkat (Wegman,1939; Prichard dan McGread, 1958). Faktor hereditas juga
mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) bependapat bahwa kepekaan terhadap
bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang
tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% znggota keluarga
menderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%
2.2.2. Etiologi
Hingga
kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan
infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan
infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalau timbul pada suhu yang tinggi.
Kadang-kadang demam yang tidak begitu tunggi dapat menyebabkan kejang. demam
yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam. Anak yang
mengalami kejang setelah imunisasi terutama di dapatkan setelah imunisasi pertussis
(DPT) dan morbili (campak). Dari penelitian
yang telah dilakukan Prof. Dr. dr. S.M.Lumbantobing pada 297 penderita kejang
demam, 66(22.2%) penderita tidak diketahui penyebanya. Penyebab utama didasarkan
atas bagian tubuh yang terlihat peradangan. Ada penderita yang mengalami
kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan
otrtis media akut.
2.2.3. Klasifikasi Kejang Demam
Umumnya
kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15
menit, dan kejang demam kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau, ultipel (lebih dari 1 kali
kejang dalam 24 jam). Disini anak
sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurologi atau riwayat kejang demam dalam keluarga. Kriteria penggolongan tersebut
di kemukakan oleh berbagai pakar dalam
hal ini terdapat berberapa perbedaan
kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tinggi demam, usia
penderiat, lamanya kejang berlangsung,
gambaran rekam otak dan lainya
2.2.4. Manifestasi
Klinis
Umunya kejang
demam berlangsung singkat,berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik
bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi
seperti mata terbalik keatas dengan
disertai kekakuan atau kelemahan,gerakan
sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya
sentakan atau kekauan fokal. Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit. Seringfkali kejang
berhenti sensiri setelah kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar
kembali tanpa defidit neirologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara
(Hemiparesisi Toddd) yang berlangsung bebebrapa jam sampai bebebrapa hari.
Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam
yang pertama.
2.2.5. Diagnosis
Banding
Penyebab lain
kejang disertai demam harus disingkirkan khususnya meningitis atau ensefalitis.
Fungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan
klinis meningitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak meyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapatkan
antibiotik maka perlu pertimbangan fungsi lumbal.
2.2.6. Penatalaksanaan
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu (1) pengobatan fase akut; (2) mencari
dan mengobati penyebab; dan (3) pengobatan profilaksis
terhadap berulang kejang demam
1.
Pengobatan fase akut.Sering kali kejang berhenti sendiri pad waktu kejang
pasien di miringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas
harus bebas agar orgenasi
terjamin.Perhatikan keadaan vital seperti kesadarantekanan darah,suhu,pernafasan
dan fungsi jantung suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin
dan pemberian anti piretik.Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah
diazepam yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena
0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg.
Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis,hentikan penyuntikan, tunggu
sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila dizepam tidak
tersedia atau pemberianya sulit gunakan diazepam intraktel 5 mg (BB<10kg)
atau 10 mg (BB>10kg) bila kejang tidak berhenti dapat diulang lagi lima
menit kemudian. Bila tidak berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal
10-20 mg/kgBB secara intravena pelahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian
fenition harus dilakukan pembilasan dengan NaCI fisiologis karena fenition
bersifat basa dan meyebabkan iritasi vena. Bila kejang berhenti dengan iazepam
lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis
awal untuk bayi 1 bulan – 1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara
intramuskular. Empat jam kemudian berikan fenobarbital dosis rumat. Untuk dua
hari pertama dengan dosis 8-10 mg/khBB/hari dibagi 2 dosis.Selama keadaan belum
membaik obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral.Perhatikan
bahwa dosis total tidak melebihi 200 mg/hari. Efek samping adalah hipotensi
penuruanan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan
fenitoin lanjutkan fenitoin dengan dosis 4-8 mg/kgBB/hari,12-24 jam setelah
dosis awal
2.
Mencari dan menobati penyeba. Pemeriksaaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
meyingkirkan kemungkinan meningitis terutama pada pada pasien kejang demam yang
pertama. Walapun demikian kebanyakan dokter melakukan fungsi lubal hanya pada
kasus yang dicurigai sebagai meningitis misalnya bila ada gejala meningitis
atau bile kejang demam berlangsung lama
3.
Pengobatan profilaksis. Ada dua cara profilaksis, yaitu(1) profilaksis
intermiten saat demam dan (2) profilaksis terus-menerus dengan anti konvulsan
setiap hari.
Untuk profilaksis intermiten di berikan diazepam secara oral dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis saat pasien demam diazepam
dapat dpat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB,10
kg) dan 10 mg (BB>10 kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5
derajat C efek samping diazepam adalah ataksia,mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus-menerus tiap hari dengan fenobarbital 4-5 mg/khBb/hari
dibagi dlam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adlah asam valproat dengan
dosis 15-40 mg/kgBB/hari.Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan
selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2
tahun. Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada dua kriteria (termasuk
poin 1 atau 2) yaitu:
1.
Sebelum
kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan(misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
2.
Kejang
demam lebih dari 15 menit,fokal, atau diikuti kelainan neurologis sementara
atau menetap
3.
Ada
riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung
4.
Bila
kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam datu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan
jangka panjang, maka berikan profilaksi intermiten yaitu pada waktu anak demam
dengan diazipam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.
2.2.7. Konsep Asuhan Keperawatan Anak Dengan Kejang
Demam
I. Pengkajian
a.
Identitas
Klien
Nama :
An.“R“
Umur :
7 Bulan
Jenis Kelamin :
Perempuan
Pendidikan Terakhir :
Belum Sekolah
Agama : Islam
Suku
/ Bangsa : Jawa /
Indonesia
Alamat :
Pondok III Batu Ampar
Tanggal
Masuk RS : 28 Juni 2014
Tanggal
Pengkajian : 28 Juni 2014
No.
Register : 04.
93. 084
Diagnosa
Medis : Demem
Kenjang
b.
Identitas Penanggung Jawab
Nama :
Tn“ M“
Umur :
25 Tahun
Jenis Kelamin :
Laki-Laki
Pendidikan Terakhir :
SMP
Pekerjaan :
Memanen Sawit
Agama :
Islam
Alamat :
Pondok III Batu Ampar
Hub dengan Klien :
Ayah Klien
II. Riwayat Penyakit
a.
Keluhan
utama
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan kejang
b.
Riwayat
penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan kejang demam dan badannya panas. Ke Rumah
Sakit Umum daerah Amanah Husada Tanah Bumbu pada tanggal 28 Juni 2014 jam 10.58
WITA. Sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit klien badanya panas dan kejang.
Klien di diagnosa medis Demam Kejang pada tanggal 28 Juni 2014.
c.
Riwayat
Penyakit Dahulu
Keluarga klien mengatakan bahwa klien tidak pernah di rawat di Rumah
Sakit sebelumnya. Klien pernah demam tapi tidak seperti sekarang yang di alami
klien – klien tidak menderita penyakit menular maupun keturunan.
d.
Riwayat
Penyakit Keluarga
Keluarga klien mengatakan bahwa keluarganya ada yang mengalami penyakit
demam, tetapi tidak dirawat di Rumah Sakit, dikeluarga klien tidak ada yang
memiliki penyakit diabetes, hepatitis, dan TB Paru.
III.
Pemeriksaam Fisik
a)
Keadaan
Umum
Compost Mentis ( sadar sepenuhnya ) dan sebelum terpasang infus.
Pengukuran tanda-tanda vital, pada tanggal 28 Juni 2014
Pukul 09.00 pagi :
BB : 9 kg
N : 100
x /menit
R : 28
x /menit
T :
39,5oc
b)
Kulit
Inpeksi : Kulit klien kelihatan
bersih, tidak tidak ada lesi atau peradangan
Palpasi : Kulit
klien teraba panas dengan suhu 39,5oC
c)
Kepala
dan Leher
Inpeksi :
Struktur simetris, warna rambut hitam,kelihatan bersih
Palpasi : Tidak
ada luka tekan pada kepala dan leher, tidak ada benjolan dan perdarahan
d)
Mata
dan Penglihatan
Inpeksi : Struktur mata,kelihatan
bersih, tidak ada sekret yang tampak, tidak ada benjolan peradangan
e)
Hidung
dan Penciuman
Inpeksi : Hidung klien terlihat
bersih, tidak ada perdarahan dan peradangan
Palpasi : tidak
ada luka tekan maupun nyeri pada hidung
f)
Telinga
dan Pendengaran
Inpeksi :
Struktur telinga simetris, kebersihan telinga cukup bersih, tidak ada
perdarahan dan peradanga.
g)
Mulut
dan Gigi
Inspeksi : Kebersihan gigi dam
mulut cukup bersih, warna mukosa bibir tampak lembab,tidak ada sariawan dan
tidak ada perdarahan dan peradangan
Palpasi : Tidak
ada nyeri pada gigi
h)
Dada,
pernapasan, dan Sirkulasi
Inpeksi :
Struktur simetris, bentuk dada normal, pergerakan rongga dada simetris
antara kanan dan kiri, pernapasan cepat dan dangkal 36 X /menit
Palpasi : Tidak
ada lika tekan dan nyeri pada dada, tidak ada benjolan dan pendarahan.
Perkusi :
Terdengar redup pada dada sebelah kanan
Auskultasi :
Dada bagian terdengar ronchi basah
i)
Abdomen
Inpeksi : Abdomen simetris,
abdomen tampak cekung, abdomen cukup bersih
Palpasi : Tidak ada nyeri saat
ditekan, perut teraba kembung, tidak ada benolan, berdarah, dan tidak lesi atau
odema
j)
Genetalia
dan Reproduksi
Klien tidak pernah terkena penyakit kelamin, klien berjenis kelamin
perempuan, tidak ada nyeri saat BAK
k)
Ekstremitas
Atas dan Bawah
Ekstremitas Atas : Tidak ada keterbatasan aktivitas, tidak ada
kelainan bentuk tulang, ekstremitas atas sebelah kanan terpasang infus Wida Ds1/4
NS 18 TPm. Dalam sehari menghabiskan
2 botol infus.
Ekstrimitas Bawah : Tidak ada keterbatasan aktivitas maupun
kelainan bentuk tulang dan tidaka ada trauma pada ekstrimitas bawah.
IV. Pola
Kebiasaan sehari-hari
a.
Aktivitas
dan Istirahat
Dirumah : Klien masih anak-anak dan klien tidur siangnya selama 3 – 4
jam dan tidur malamnya klien 9 – 10 jam sehari.
Di RS : Klien hanya berbaring
diatas tempat tidur dan digendongnya oleh ibunya dan kondisinya masih lemah.
b.
Personal
Hgyiene
Di rumah : Klien Mandi 2x sehari,
dan potong kuku bila panjang.
Di RS : Selama di RS klien tidak
pernah mandi hanya diseka 1x sehari oleh keluarganya.
c.
Nutrisi
Di rumah : Klien makan 3x/ hari,
makan SUN, dan minumnya setelah makan dan apabila haus minum susu.
Di RS : Klien makan 2x sehari,
minum air putih, dan juga minum susu
d.
Eliminasi
Di rumah : Klien BAB kurang
teratur, sedangkan BAK 7 – 8x sehari
Di RS : Selama di RS klien BABnya
juga kurang teratur, sedangkan BAK 7 – 9x sehari.
e.
Sexsual
Klien berjenis kelamin perempuan, klien tidak pernah mengalami penyakit
kelamin.
f.
Pisiko
Sosial
Hubungan klien dengan keluarga sangat baik karena banyaknya keluarga
yang mengunjungi klien, hubungan dengan perawat, dokter dan tenaga medis
lainnya baik dan dapat bekerjasama dalam perawatanya.
g.
Spiritual
Klien beragama
islam, keluarga klien hanya bisa berdoa
untuk kesembuhan klien
V. Diagnosa Keperawatan
1.
Peningkatan
suhu tubuh b.d peningkatan metabolisme penyakitnya.
Tujuan : dalam 3 hari suhu badan klien kembali normal, tidak terjadi
kejang lagi.
Kriteria hasil : suhu badan normal, tidak ada kejang, kembali segar.
Rencan :
1)
Observasi
TTV
2)
Anjurkan
keluarga untuk kopres dingin klien
3)
Anjurkan
keluarga untuk memakaikan baju yang menyerap keringat untuk klien
4)
Berikan
penjelasan pada keluarga klien
·
Jelaskan
tentang :
-
Nama
penyakit anak
-
Penyebab
penyakit
-
Akibat
yang di timbulkan
-
Pengobatan
yang dilakukan
·
Jelaskan
tentang :
-
Pengertian
kompres dan pentingnya
-
Suhu
badan yang normal bagi anaknya
·
Beri
kesempatan keluarga untuk mengulangi isi penyuluhan
·
Anjurkan
keluarga untuk membawa anak selalu kontrol setelah pulang dari rumah sakit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar